Surga itu Bernama Tobea dan Renda – bagian 2


Hallo Renda!

Percayalah, lebih dingin kehujanan di lautan daripada kehujanan di gunung. Dalam kondisi basah kuyup, angin dapat menerjang kita dari berbagai penjuru selama perjalanan ke pulau Renda. Iya betul, kami disambut hujan di pulau Renda dan di tengah lautan.

Sesampainya di pulau Renda, saya segera berganti pakaian dengan baju yang kering dan menyantap hidangan cumi asam manis serta minuman hangat yang disuguhkan. Selanjutnya, tidur di dalam kamar yang berkelambu seperti dongeng para ratu. Jangan dibayangkan disana ada hotel, setiap kali ke daerah terpencil pastinya saya tidur di rumah warga.

Hal ini juga yang awalnya diragukan oleh teman – teman yang menjadi pendamping di kepulauan terpencil ini. “Devi emangnya bisa tidur di lantai dan tidak mandi berhari-hari?”, ungkap Pak Onnie yang menjadi fasilitator di kedua pulau. Hahahaha…belum tahu dia.

Sebelum keberangkatan  memang semua orang menakut-nakuti dengan perjalanan panjang yang bikin capek pantat, minimnya air, tempat tidur yang bukan spring bed, dll. Tampilan saya yang manis dan hidup di kota besar (muji diri sendiri :D) banyak disangsikan untuk dapat survive di hutan ataupun berada dalam kondisi yang minim fasilitas.

Akhirnya saya pun bercerita bahwa hal ini biasa saja. Saya sudah sering ke daerah yang minim fasilitas. Gunung, pulau-pulau kecil, kampung pesisir. Name it! Bahkan masa kecil saya sering dihabiskan di rumah nenek di sekitar gunung kapur, sumber mata airnya jauh dari rumah, bermain di pohon dan menggembala kambing, tidak ada listrik jadi teman di kala senggang ya hanya buku, plus rumah nenek berlantai tanah dan berdinding bambu. Dapurnya saja masih pakai pawon yang berbahan bakar kayu. Don’t judge people by its cover 😀

Pagi hari di Pulau Renda saya pergunakan untuk berjalan-jalan di sekitar pulau. Pulau yang cukup kecil ini habis diputari dalam waktu kurang dari satu jam. Menurut pak Sekdes Renda, pulau ini hanya dihuni oleh 100KK dan semuanya bersaudara. Saat pasang, hampir seluruh bagian pulau terendam air, oleh karena itu mustahil bagi mereka untuk memiliki tanaman sayur di darat.

surut di Renda
surut di Renda
struktur rumah di Renda
struktur rumah di Renda

Pulau Renda juga dihuni oleh suku Bajo, memiki karateristik yang sama dengan pulau Tobea, mulai dari rumah dan kebiasaan penduduknya, hanya ada kucing malah binatang yang hidup di pulau ini. Pepohonan yang tumbuh bakau dan kelapa. Fasilitas pendidikan yang tersedia hanya SD dan SMP, berbeda jauh dengan Renda yang sudah memiliki SMA. Guru-guru di pulau Renda pun berasal dari pulau sebelah, dari Tampo. Berhubung gurunya dari seberang, jam masuk sekolahnya bisa suka-suka, sedatangnya sang guru.

Pulau Renda dikepung oleh pulau-pulau lain seperti Bontu-Bontu, Tampo dan Raha, pulau Panjang, dan juga Tobea. Bedanya disini saya bisa lebih mudah mendapat sinyal seluler daripada di pulau Tobea, sedangkan fasilitas air bersih harus dibeli di Muasih kalau hujan tidak datang. Warga disini memiliki lebih banyak jerigen air dari penduduk pulau terpencil manapun yang saya temui.

pemukiman di Renda
pemukiman di Renda
gadis Renda
gadis Renda

Saya tinggal di rumah Mama Tua dan dua orang cucunya. Sehari-hari Mama Tua berjualan kelontong untuk mengisi waktu luang. Ritme kehidupan di pulau Renda juga sangat lamban, dimulai dengan makan pagi, beberes rumah, tidur siang, menangkap ikan, memasak di sore hari, makan malam, dan kemudian istirahat kembali. Oya masakan mama tua sangat enak lho. Bumbu-bumbu sederhana yang membuatku sanggup menghabiskan empat buah kepiting dengan ukuran kecil 😀 Sesederhana itu dan sedamai itu.

Warga bercerita tentang kehidupan mereka di pulau, anak-anak mereka dan kisah hidup yang dilalui. Ada airmata dari sudut-sudut mata Mama Tua saat mengingat menantunya yang sudah meninggal. “Mi, mari jangan bercerita yang sedih, Mama tidak ingin mengingat hal-hal itu, terlalu sakit jika diceritakan”, ujarnya.

Penduduk pulau Renda selalu bertanya seperti apa Jakarta? Angin apa yang bisa membawa saya ke pulau kecil tersebut? Mereka percaya itu semua karena kami berjodoh 🙂

Sore hingga malam hari di pulau ini saya pergunakan untuk mendokumentasikan kegiatan pembuatan tali pengikat bagi bibit rumput laut, serta sesi training lanjutan dari dinas KKP mengenai struktur demplot dan juga perawatan bibit rumput laut selama 45 hari ke depan. Masyarakat di pulau ini jauh lebih terbuka daripada pulau Tobea, menurut saya. Mereka senang bercanda sedari mula saya datang ke pulau. Mereka bilang siapapun yang diiringi hujan datang ke pulau Renda, dipastikan banyak berkah pada dirinya ^_^

mari menjemur rumput laut
mari menjemur rumput laut

Ini Bukan Perpisahan

Esok paginya kami harus kembali bertolak menuju pulau Tobea untuk menyelenggarakan training di pulau tersebut. Saya peluk erat-erat Mama Tua dan kami pun bertukar nomor telepon. “telepon saja, Mama, kalau Mama kangen dengan saya”, begitu ujarku di akhir pertemuan. Terima kasih Mama, atas kebaikan hatinya menerima saya dengan tangan terbuka di rumah Mama.

Sesampainya di Pulau Tobea kami disambut oleh Sekdes Wangkolabu dan dibawa ke rumah pak Kades Wangkolabu. Training dilaksanakan di rumah pak Kades Wangkolabu dan pak Sekdes segera menghubungi seluruh kelompok anggota petani rumput laut Tobea yang sebagian besar adalah perempuan untuk datang ke lokasi.

Setelah training selesai saya sempatkan untuk mewawancara penduduk desa mengenai kesan-kesan mereka mengikuti training serta harapan mereka mengenai program ini di masa depan. Tak bisa lama-lama kami (saya dan anggota dinas KKP) harus segera bertolak kembali ke daratan Sulawesi mengejar pesawat pukul lima sore dari Kendari yang akan membawa kami menuju Makassar, dan saya melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Uniknya sebelum bertolak menggunakan perahu nelayan, peserta training beramai-ramai mendoakan  supaya saya segera bertemu jodoh 😀

Perjalanan kembali menuju daratan Sulawesi memakan waktu kurang lebih 1,5 jam via jalan laut. Dari pelabuhan Matabubu kami langsung dijemput oleh staff yayasan Humaniora dan meluncur ke bandara Haluoleo Kendari. Kembali hujan menyapa saya di daratan Sulawesi, dan kembali saya ingin melihat pelangi di kota Kendari seperti tempo hari.

Saya lemparkan mata jauh ke lautan, ini bukan perpisahan, kelak kami pasti bertemu kembali. Mata saya kemudian memejam menikmati suara hujan.

Diterbitkan oleh Devi R. Ayu

A proud Mom of #babyD, Penulis, Penerjemah, Konsultan Komunikasi, dan Fasilitator Program Women Will dari Google Gapura Digital untuk kota Malang. Owner dari Cindaga Comms, konsultan komunikasi digital di kota Lawang, Malang.

2 tanggapan untuk “Surga itu Bernama Tobea dan Renda – bagian 2

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: