Kalau Aku Jadi Laki-laki….


“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya…hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya”

(Harper Lee – To Kill A Mockingbird)

Malang, den 18. Maerz 2009

Kadang puyeng sendiri saat belajar tentang budaya. Apalagi yang membahas segala sesuatu tentang gender. Betapa budaya patriarki dan menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki sudah begitu kuat mengakar di berbagai belahan dunia. Meminjam istilah Deborah Tannen “laki-laki dan perempuan bagaikan dua kultur yang berbeda”.

Indikasi bagaimana laki-laki memandang perempuan bisa dianalisis dari gaya bicara dan sekerjap lirikan mata yang menjadi bahasa tubuh mereka. Sempat berandai, “if I were a boy” seperti lagu yang dinyanyikan Beyonce, kalau saya laki-laki, saya akan memperlakukan wanita dengan santun dan mengeluarkan mereka dari norma-norma budaya yang membelenggu.

Namun apa daya, manusia hidup berlandaskan budaya, bahkan budaya tak melulu merendahkan wanita. Ironisnya jika kita menganalisis gaya bicara yang merupakan salah satu khazanah budaya, maka kita akan dapati konflik tak ada habisnya dalam menempatkan perempuan sebagai pihak yang di bawah. Di sisi lain, gaya bicara masing-masing individu sendiri tak lepas dari riwayat pribadi antara lain: asal daerah, etnis, kelas sosial, orientasi seksual, pekerjaan, agama, usia, dan gender.

Sempat terperangah manakala mendengar ucapan seorang lelaki berpendidikan dari etnis Jawa, “Perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu tidak usah dibahas terlalu dalam lah, wanita sekarang banyak yang sudah kebablasan”. Saya sempat bengong, mungkin ada benarnya, tapi kenapa perspektifnya tidak kita balik? Banyak laki-laki yang notabene mengakali perempuan, namun sanksi moral tidak akan begitu berat dibandingkan dengan perempuan yang membuat kesalahan.

Wah..bahkan pendidikan yang tinggi tidak menjamin sang empunya gelar dapat mempunyai pandangan yang berbeda tentang menyikapi perempuan. Bisa bubrah nih kalau semua orang minta dimengerti tanpa mau mengerti orang lain, kata saya dalam hati.

Sekarang malah jauh lebih was-was, bagaimana seandainya saya tidak bisa sabar dalam melakoni peran perempuan diantara dua kultur yang berbeda ini? Haruskah masing-masing dari kami bertukar peran dan jenis kelamin sehingga bisa memahami satu sama lain?

Akhirnya terlintas di pikiran saya, mungkin ini salah satu sebabnya mengapa banyak tokoh besar dunia seperti Nabi Muhammad Saw hingga Karl Marx hanya mempunyai anak kandung perempuan. Saya rasa hal itu juga merupakan pembelajaran bagi masyarakat untuk lebih menghormati perempuan, mengeluarkan pemikiran-pemikiran kuno mereka yang membelenggu dimana notabene bikinan manusia.

Saya rasa jalan menuju kesana masih panjang ya….mengembalikan perempuan kepada fitrahnya sebagai patner laki-laki, catat – perempuan bukan pembantu rumat tangga laki-laki, dan saling melengkapi diatas perbedaan. Bukankah pepatah pernah bilang, justru karena tidak sempurna maka manusia membutuhkan orang lain untuk menutupi kelemahannya dan melengkapi kekurangannya.

Devi. R. Ayu

Diterbitkan oleh Devi R. Ayu

A proud Mom of #babyD, Penulis, Penerjemah, Konsultan Komunikasi, dan Fasilitator Program Women Will dari Google Gapura Digital untuk kota Malang. Owner dari Cindaga Comms, konsultan komunikasi digital di kota Lawang, Malang.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d blogger menyukai ini: